Rabu, 04 Desember 2013

Lomba Peduli Kehutanan Jateng

Karangrejo Duta Purworejo di Lomba Desa Peduli Kehutanan Jateng

Desa Karangrejo Kecamatan Loano menjadi duta Kabupaten Purworejo dalam lomba Desa Peduli Kehutanan tingkat Provinsi Jawa Tengah. Kepala Desa Karangrejo, Slamet Rahardjo kepada KRjogja.com, Minggu (9/5) mengatakan, pemilihan desanya menjadi wakil Purworejo lantaran prestasi Karangrejo di tingkat provinsi. Desa Karangrejo pernah jadi juara dua Lomba Penghijauan dan Konservasi Alam se-Jateng tahun 2008.
Warga desa tidak melakukan persiapan yang banyak untuk menghadapi lomba tersebut. Program perlindungan lingkungan sudah dilaksanakan warga Desa Karangrejo secara turun temurun.
Warga Karangrejo memiliki sejumlah norma dan kearifan lokal yang dijalankan warganya. Warga dilarang menebang pohon di areal pemakaman serta sekitar mata air. Selain itu, jika warga menebang pohon, mereka harus mengganti dengan menanam bibit sesuai jumlah yang ditebang.
Selain aturan adat, warga dan pemerintah Desa Karangrejo menerapkan beberapa peraturan desa (perdes). Desa membuat Perdes Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup tahun 2007 dan Perdes Pelestarian Lingkungan Hidup 2008. “Aturan itu antara lain memuat tentang larangan menangkap ikan dengan stroom atau racun serta memburu satwa di hutan. Hukumannya juga berat, meracun ikan dengan pestisida diganjar denda 5 juta dan mengganti benih ikan sebanyak 50 kilogram,” imbuhnya.
Menurutnya, sebelum ada perdes tentang pengelolaan dan pelestarian lingkungan, sejumlah warga masih serampangan memanfaatkan alam sekitar desa. “Namun setelah ada perdes, mereka takut kena hukuman. Hingga alam Karangrejo bisa terjaga keasriannya hingga saat ini,” ucapnya.
Terpisah, Kepala Bidang Kehutanan Dinas Pertanian dan Kehutanan (Distanhut) kabupaten Purworejo, Argo Prasetyo mengutarakan, Desa Karangrejo dapat menjaga kelestarian hutan rakyatnya lantaran kekompakan antara perangkat desa dengan warga. Selain itu, mereka memprogramkan kawasan hutannya sebagai lokasi ekowisata.
“Kami melihat, masyarakat dan perangkat Desa Karangrejo berjalan searah untuk melestarikan hutannya,” tuturnya saat dihubungi melalui telepon.
Beberapa pihak luar juga turut membina pengelolaan hutan rakyat di Desa Karangrejo. Desa itu menjadi binaan Pusat Kajian Hutan Rakyat (PKHR) Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Selain itu, Karangrejo juga menjalankan Seed for People atau program pemerintah untuk penyediaan benih bagi masyarakat.
sumber : KRjogja

Hutan Rakyat Eko Wisata Karangrejo

Lestarikan Hutan Kita


Hutan Rakyat Eko Wisata (HRE) Karangrejo
Di Negara-negara berkembang seperti Indonesia, kerusakan alam merupakan hal yang biasa terjadi. Tuntutan ekonomi yang tinggi tanpa lapangan kerja yang memadai, maka mencari dari alam adalah solusi paling mudah bagi masyarakat. Sayangnya, penegakan hokum masih dirasa payah dalam mengatasi kasus-kasus perusakan lingkungan. Kearifan lokal dalam menjaga kelestarian alamlah sekarang yang menjadi harapan, beberapa peraturan adat biasanya mengatur bagaimana masyarakat dapat mengambil hasil alam dengan teratur, aman dan bertanggung jawab. Kearifan local sudah ada di masing-masing daerah misalnya: Lubuk larangan di Jambi, Pengelolaan Terumbu karang di Jemluk (Bali), dan dan lain-lain.
Purworejo merupakan sebuah kota kecil yang alamnya masih asri. Landscap daerah Purworejo berupa dataran rendah (daerah perkotaan), perbukitan, persawahan, pesisir pantai selatan dan dialiri dua sungai yaitu sungai Bogowoto dan sungai Jali. Namun beberapa tahun terakhir ini pencemaran lingkungan semakin marak dengan bertambahnya padatnya penduduk, jumlah kendaraan serta aksi para destroyer yang menebang pohon sembarangan serta penangkap ikan dengan apotas dan setrum. Tentu hal demikian menjadi ancaman bagi kehidupan warga Purworejo yang masih menggantungkan hidupnya dari alam. Berbagai upaya tengah dilakukan masyarakat Purworejo antara lain dengan pengembangan Hutan Rakyat Ekowisata di kec Loano, pembibitan pohon di kec. Kemiri, klub mania mincing di kec Bagelen dan lain sebagainya.
Hutan Rakyat Ekowisata di desa Karang rejo, kec. Loano adalah salah satu upaya pelestarian hutan masyarakat bekerjasama dengan Pusat Kajian Hutan Rakyat (PKHR) Fakultas Kehutanan UGM. Proyek tersebut merupakan tindak lanjut dari seminar yang diadakan oleh PKHR pada tanggal 4 Maret 2008 di desa Karngrejo dengan tema “Kearifan Lokal untuk Ketahanan Sumber Daya Alam Desa di Desa Karangrejo, Kecamatan Loano” Proyek tersebut berdasarkan pemikiran bahwa hutan rakyat menjadi sumber daya alam di daerah tinggi dan menjadi zona pengaman untuk mencegah erosi dan sumber mata air alam yang harus dipelihara untuk melindungi DAS Bogowonto. Selain itu, hutan rakyat memiliki fungsional, ekonomi, budaya dan pengetahuan masyarakat serta menjaga stabilitas lingkungan. Ide dan gagasan yang diambil oleh kelompok MURAKABI di dusun Karangjati desa Karangrejo tentang pengembangan kawasan Hutan Rakyat Ekowisata (HRE) Karangrejo harus disambut baik dan mendapat dukungan positif dari semua pihak. Gagasa HRE Karangrejo ini diarahkan berbasis pada kemampuan local, mengembangkan perekonomian local, dan tetap menjaga kearifan local yang rasional.
Gasasan HRE Karangrejo tersebut juga akan dikembangkan sampai daerah hulu dan desa-desa lain di kecamatan Loano. Secara keseluruhan, masyarakat mendukung pengembangan kawasan ekowisata dan agrowisata yang dapat dibanggakan kabupaten Purworejo tersebut. Untuk itu, masyarakat dimintauntuk mempersiapkan melalui berbagai upaya mengembangkan pertanian dengan menanam buah-buahan, kerajinan, makanan khas, dan pertunjukan budaya yang menjadi cirri khas Purworejo.
Kecamatan Loano sendiri dikenal sebagai daerah penghasil kayu. Namun, tata usaha kayu rakyat belum dirasa memberikan dampak pada pembangunan desa yang memiliki hutan tersebut. Maka daripada itu, sangat diperlukan pembenahan kebijakan mengenai tata usaha kayu rakyat, melindungi kepentingan rakyat dan hutan rakyat tersebut yang merupakan sumber ekonomi untuk pembangunan kabupaten Purworejo. Koordinasi antar sector pemerintah daerah perlu membuat perencanaan wilayah terpadu melalui pembangunan ekonomi dan lingkungan di desa-desa mulai dari wilayah hulu, tengah, dan hilir. Proyek khusus pengembangan kawasan perbukitan kec. Loano kolaborasi maksimal dari masyarakat dan pemda Purworejo.

Sejarah Desa Karangrejo

Sejarah Karang Rejo

 
Desa Karangrejo berasal dari kata “karang” yang berarti batu atau pekarangan, kata “rejo” yang artinya ramai, jaya, dan damai. Jadi Karangrejo berarti batu atau pekarangan yang akan mengalami keramaian, kejayaan, dan kedamaian. Harapan ini dilemparkan oleh para pinisepuh dan sesepuh dan tetuwo di Desa Karangrejo. Pada awalnya lahan di Desa Karangrejo tandus dan bebatuan yang hanya ditumbuhi alang-alang atau iser (semacam pohon serai). Warga Desa Karangrejo yang sebagian besar petani/buruh tani hanya mengandalkan dari lahan kering sawah tadah hujan, sehingga pada musim kemarau warga Desa Karangrejo banyak yang buruh menuai padi (reno) di wilayah Kabupaten Purworejo bagian selatan dan sekitarnya. Ada sebagian warga yang menjajakan hasil bumi mereka berupa singkong, kacang-kacangan, dawet, dan lainnya untuk ditukar dengan padi diwaktu panen. Pada musim kemarau khususnya warga Desa Karangrejo sulit memperoleh air bersih, dan untuk kebutuhan sehari-hari umumnya mengambil air dari rembesan mata air yang ada.
Pada kondisi perjalanan kehidupan warga Desa Karangrejo sebagaimana tersebut di atas, maka amat diperlukan peran serta Pemerintah Desa dalam rangka proses pemberdayaan masyarakat di Desa Karangrejo. Maka pada tahun 1998, Pemerintah Desa memfasilitasi terbentuknya Kelompok Tani Hutan Rakyat yang dinamakan “MURAKABI” dalam pengertian dapat bermanfaat dalam kehidupan warganya, Karena keberhasilannya dalam  pembangunan hutan rakyat, kondisi saat ini di desa Karangrejo terdapat 13 Titik mata air yang tersebar di 3 Dusun, yakni Dusun Krajan, Dusun Karangjati dan Dusun  Caok sehingga warga masyarakat tidak lagi mengalami kesulitan air pada masa musim kemarau.

Sabtu, 12 Oktober 2013

Video Wisata Desa Karangrejo


Promo Desa Wisata Karangrejo



Perbukitan Menoreh yang membujur dari selatan ke utara dari Kabupaten Purworejo menyimpan banyak potensi wisata lainnya. Ketika menjelajah kawasan perbukitan itu, dengan mudah akan ditemukan berbagai objek keindahan. Salah satunya Desa Ekowisata Karangrejo di Kecamatan Loano. Desa berhawa sejuk itu terletak sekitar 10 kilometer dari pusat kota, atau sekitar 40 kilometer arah selatan Candi Borobudur Magelang.



Desa Ekowisata yang mulai berdiri sejak tahun 2009 itu menawarkan poteni keindahan alam dan budaya masyarakat setempat. Datang ke Desa Karangrejo sama saja dengan mengunjungi Purworejo 'mini', sebab berbagai keragaman yang ada di Purworejo, juga tersaji di sana.Saat pertama kali menginjakkan kaki dari pintu masuk di Pasar Sejiwan Trirejo, akan langsung tersuguh bangunan bersejarah peninggalan Belanda, bernama Bendung Kedungputri di Sungai Bogowonto. Sejak dibangun sekitar tahun 1925 lalu, Bendung Kedungputri sangat berjasa mengairi sedikitnya 6.000 hektare sawah milik petani Purworejo. 


Selain nostalgia dengan bangunan bendungan tua, Sungai Bogowonto pun menarik dijelajahi untuk olahraga arung jeram. Terdapat jalur petualangan sepanjang sekitar sepuluh kilometer, dengan waktu tempuh sekitar dua jam, mulai dari Bendung Penungkulan di Kecamatan Gebang, hingga finish di Bendung Kedung Putri. Ketika air Sungai Bogowonto penuh saat musim hujan, belasan jeram di alurnya sangat menantang. Bahkan, jeram itu memiliki skala kesulitan level 3 hingga 4. 
Menyusuri lebih dalam lagi ke Desa Karangrejo, kembali ditemui adanya benda cagar budaya, berupa Rumah Lurah Glondong yang dibangun pada tahun 1913. Lurah Glondong Karangrejo merupakan pemimpin Lurah atau Kepala Desa se-Kecamatan Loano. Pada jaman kerajaan ratusan tahun lalu, hingga akhir tahun 1960-an, Lurah Glondong populer dan disegani. Bahkan, ia memiliki rumah dinas sendiri.Terakhir, jabatan Lurah Glondong dipegang oleh Haji Tajib, sekitar tahun 1960-an. 
Kini, masih tersisa sebagian bangunan tua rumah sang Lurah Glondong yang kini dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata.Selain Rumah Lurah Glondong, terdapat benda cagar budaya lain, yakni Kompleks Makam Silencu. Dalam kompleks pemakaman itu, dimakamkan raga Pangeran Dipokusumo. Pangeran Dipokusumo merupakan ahli strategi perang yang menjadi kepercayaan Pangeran Diponegoro dalam melawan pendudukan Belanda, tahun 1825 hingga 1830. Pangeran Dipokusumo dimakamkan pada tahun 1855. Selain itu, turut dimakamkan sejumlah pejuang serta ulama yang hidup pada jaman perlawanan Diponegoro, seperti Kromoharjo, atau Patih Purworejo pada tahun 1864. 
Juga terdapat batu mitos bernama Watu Kendhit. Batu bulat yang memiliki tonjolan melingkar pada bagian tengah itu dikenal sebagai 'batu tiban', atau batu yang tidak diketahui asal usulnya. Bahkan, ada kepercayaaan, jika berhasil menjengkalkan tangan pada lingkaran kendhit tanpa lebih atau kurang, apa yang kita inginkan bisa terkabul. Bahkan, kompleks pemakaman itu dipercaya sebagai markas pasukan Pangeran Diponegoro dalam mengatur strategi perang. Ketika sudah sampai di Kompleks Makam Silencu, berarti sudah terbuka jalan untuk menyusur hutan rakyat Karangrejo. Hutan milik sejumlah warga dengan luas sekitar 171 hektare itu sangat berarti bagi masyarakat setempat. Jika saja tidak ada hutan rakyat, pasti warga Karangrejo akan menghadapi masalah kekurangan air, seperti pernah terjadi sekitar 20 tahun lalu. Saat itu, Karangrejo dikenal sebagai daerah yang gersang, tanahnya keras, hampir tidak ada mata air. Namun, berkat perjuangan almarhum Mbah Daliyo, desa itu kini hijau. Puluhan tahun lalu, Mbah Daliyo yang berprofesi sebagai penjual minuman keliling selalu membawa bibit tanaman kayu setiap kali ia pulang berjualan. Ia tanam pohon di perbukitan yang gersang. Meski pada awalnya dicibir warga, lambat laun, langkah itu diikuti penduduk setempat. Kini, bukit yang dulu gersang sudah disulap menjadi hutan yang hijau dan menjadi penyedia air bagi ratusan warga, serta tempat berkembangbiak spesies burung, serangga, dan reptil. Hutan itu juga menjelma jadi kawasan hiking yang menantang, serya sejumlah olahraga ekstrem, seperti rappeling dan panjat tebing Watu Semurub. Masyarakat Desa Karangrejo juga merupakan kelompok yang menjunjung tinggi adat, budaya serta kearifan lokal yang ada di dalamnya. Jika tidak, tentunya kita tidak akan bisa melihat hijaunya ratusan hektare hutan rakyat. 
Selain itu, budaya untuk menjaga tradisi juga diwujudkan dengan tetap lestarinya Grup Kesenian Jathilan Turonggo Seto. Grup kesenian tari rakyat yang dipercaya sudah muncul sejak ratusan tahun lalu itu, hingga kini masih bertahan dan beregenerasi. Grup Turonggo Seto selalu siap tampil menyambut kedatangan tamu ke Karangrejo. Selain itu, kelompok pemuda dan anak-anak di Karangrejo juga membentuk grup penari Dolalak, tarian khas Kabupaten Purworejo. 
Penasaran dengan gambaran alam dan budaya Karangrejo? Jangan dulu! Sebab, keindahan tidak hanya ada di Karangrejo saja. Masih banyak potensi lain di desa-desa di sekitar Karangrejo, sepetri Desa Kalikalong serta Kalisemo. Kalikalong yang terletak hanya satu kilometer dari Karangrejo menyimpan keindahan alam serta tradisi. Potensi Kalikalong adalah berdirinya sejumlah industry rumah tangga ‘mie soun’ atau mie putih. Menariknya, mereka masih membuat mie soun tersebut secara tradisional, dengan hanya tenaga manusia. Bahan bakunya juga khusus, yakni dari tepung sagu batang pohon aren. Warga membuat sendiri tepung sagu dengan menggiling dan memeras sari batang aren, serta memasak bahan itu menjadi mie. Sementara itu, Kalisemo dikenal sebagai gudangnya pande besi atau pembuat senjata tradisional, alat pertanian, serta peralatan rumah tangga. Ada puluhan warga yang berprofesi sebagai pande besi. Jika siang hari datang ke Kalisemo, telinga kita akan disuguhi bunyi dentang besi dan palu yang saling beradu. Sungguh ramai! Selain itu, di Kalisemo, nyali kita akan ditantang dengan berjalan melintasi Jembatan Gantung Tempuran. Jembatan gantung dengan panjang sekitar 60 meter dan membentang di atas Sungai Bogowonto. Travelling menyusur berbagai keindahan alam dan budaya itu dapat dinikmati dengan berjalan kaki atau kendaraan roda dua. Atau pengelola Desa Ekowisata Karangrejo akan menyiapkan sepeda yang khusus dipakai untuk pengunjung yang datang.

Akan datang mengunjungi Desa Karangrejo?